Metronusa News |Lebak,Banten – Forum Warga Bersatu Banten (Forwatu Banten) mengecam keras tindakan PT Wijaya Kusuma Contractor (WKC) yang diduga melakukan pencurian pasir laut secara ilegal di wilayah pesisir Carita, Kabupaten Pandeglang, Banten.
Material pasir laut itu disebut-sebut digunakan sebagai kemasan pasir landai (landfill) untuk pembangunan Hotel Mercure Anyer, salah satu proyek komersial yang tengah berjalan di kawasan wisata Anyer.
Tindakan tersebut dinilai tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mencerminkan keserakahan korporasi yang mengorbankan ekosistem laut dan kehidupan masyarakat pesisir.
Presidium Forwatu Banten, Arwan, S.Pd., M.Si, menyatakan keprihatinan sekaligus kemarahan terhadap praktik ilegal tersebut. Menurut Arwan, tindakan ini merupakan kejahatan lingkungan yang sistematis dan harus disikapi secara serius oleh aparat penegak hukum.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini pencurian sumber daya alam yang dilindungi undang-undang. Laut Banten bukan milik korporasi. Kalau negara diam, maka rakyat yang akan menanggung akibatnya,” tegas Arwan, Jumat (10/10/2025).
Menurut pantauan Forwatu Banten, aktivitas pengerukan pasir laut di wilayah Carita dilakukan tanpa izin resmi dari instansi berwenang. Kegiatan tersebut dilakukan dengan cara mengangkut pasir laut menggunakan truk dan alat berat ke lokasi proyek di Anyer.
Modus seperti ini telah berulang kali terjadi di wilayah pesisir Pandeglang dan Serang, namun penegakan hukumnya kerap tumpul ketika menyentuh kepentingan bisnis besar.
Forwatu menilai, praktik semacam ini merupakan bentuk perampasan ekologis (ecological grabbing) yang berdampak luas terhadap lingkungan, mulai dari kerusakan terumbu karang, abrasi pantai, menurunnya hasil tangkapan nelayan, hingga potensi bencana pesisir.
“Ketika pasir laut dikeruk, yang hilang bukan hanya material, tapi juga kehidupan masyarakat pesisir. Negara harus berpihak kepada rakyat, bukan kepada korporasi yang merusak,” ujar Arwan dengan nada keras.
Arwan menegaskan, praktik penambangan pasir laut tanpa izin seperti yang diduga dilakukan PT WKC jelas melanggar berbagai ketentuan perundang-undangan di Indonesia, antara lain:
• Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 junto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
• Pasal 35 huruf (a) secara tegas melarang setiap orang melakukan penambangan pasir di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dapat merusak lingkungan dan ekosistem.
• Pelanggaran terhadap pasal ini dapat dikenai sanksi pidana sesuai Pasal 73 ayat (1) dengan ancaman penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.
• Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH),
• Pasal 98 ayat (1) menegaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dipidana penjara 3–10 tahun serta denda Rp3–10 miliar.
• Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba),
• Pasal 158 menyebut, siapa pun yang melakukan kegiatan penambangan tanpa izin resmi (IUP, IPR, IUPK) dipidana penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar.
• Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut, Mengatur bahwa pengambilan pasir laut hanya dapat dilakukan untuk kepentingan strategis nasional dengan izin khusus dan kajian lingkungan yang ketat. Dalam kasus ini, proyek komersial seperti pembangunan hotel tidak termasuk dalam kategori tersebut.
“Artinya jelas apa yang dilakukan PT WKC bukan hanya ilegal, tetapi juga bertentangan dengan seluruh prinsip hukum lingkungan nasional,” tegas Arwan.
Forwatu Banten mendesak Polda Banten, Ditpolairud, dan Kejaksaan Tinggi Banten untuk segera melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap aktivitas tersebut.
Arwan juga meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Banten melakukan audit lingkungan dan menelusuri rantai suplai material proyek Mercure Hotel Anyer.
Selain itu, Forwatu Banten mendesak agar seluruh alat berat, kendaraan pengangkut, serta lahan penimbunan pasir hasil curian disita sebagai barang bukti.
“Kita tidak boleh membiarkan korporasi seenaknya mencuri sumber daya laut, lalu berlindung di balik nama proyek pembangunan. Jika hukum hanya tajam ke bawah, keadilan akan mati di negeri ini,” ujar Arwan.
Forwatu Banten menilai kasus ini bukan yang pertama kali terjadi di wilayah pesisir Banten. Sebelumnya, praktik serupa juga pernah mencuat di kawasan Anyer dan Tanjung Lesung.
Karena itu, Forwatu Banten menegaskan perlu adanya moratorium total terhadap segala bentuk pengambilan pasir laut untuk kepentingan komersial, serta reformasi perizinan lingkungan agar tidak dimanipulasi untuk kepentingan bisnis.
“Kami ingin menegaskan Banten bukan milik pemodal, melainkan milik rakyat. Siapa pun yang merusak laut, berarti merampas masa depan generasi kami,” pungkas Arwan.
Sebagai organisasi masyarakat sipil yang fokus pada pengawasan publik, Forwatu Banten berkomitmen untuk mengawal kasus ini hingga tuntas.
Forwatu Banten akan menyampaikan laporan resmi ke aparat penegak hukum dan lembaga negara terkait, termasuk Komnas HAM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), agar kasus ini tidak ditutup-tutupi.