10 Tahun Indonesia di Pimpin Insinyur Kehutanan, Banyak Hutan yang Beralih Fungsi

  • Bagikan

Metronusa News, Bogor | Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun di pimpin oleh Presiden Joko Widodo selama 2 periode yaitu 2014-2019 dan 2019-2024. Presiden Joko Widodo merupakan seorang Insiyur jurusan kehutanan UGM. Namun menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam kurun waktu 10 tahun kepemimpinan Jokowi, indonesia banyak kehilangan hutan yang di alih fungsikan.

Deforestasi di Indonesia selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo cukup signifikan. Berdasarkan data yang tersedia, berikut beberapa informasi terkait:

– Deforestasi pada tahun 2024 mencapai 261.575 hektar, meningkat 4.191 hektar dari tahun sebelumnya yang tercatat 257.384 hektar.
– Selama satu dekade terakhir, Indonesia telah kehilangan 4,5 juta hektar hutan primer, dengan puncaknya pada tahun 2016 sebesar 930 ribu hektar.
– Pada tahun 2020, deforestasi menurun menjadi 115.460 hektar, namun angka ini masih menjadi perdebatan karena perbedaan definisi deforestasi dan metode perhitungan.
– Deforestasi terbesar terjadi di Kalimantan, dengan luas 129.896 hektar pada tahun 2024, diikuti oleh Sumatera dan Sulawesi.

Pemerintah telah melakukan upaya untuk mengurangi deforestasi, seperti program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) dan moratorium izin baru di hutan primer dan lahan gambut. Namun, masih ada tantangan besar dalam mengatasi deforestasi, terutama dalam menghadapi perubahan iklim dan kebutuhan ekonomi.

Bencana di Sumatera, seperti banjir dan longsor, dapat terkait dengan deforestasi hutan. Deforestasi dapat meningkatkan risiko bencana karena beberapa alasan:

1. Hilangnya Penahan Air: Hutan berfungsi sebagai penahan air, sehingga ketika hutan ditebang, air hujan dapat langsung mengalir ke sungai dan menyebabkan banjir.
2. Erosi Tanah: Hutan juga berfungsi sebagai penahan tanah, sehingga ketika hutan ditebang, tanah dapat tererosi dan menyebabkan longsor.
3. Perubahan Iklim: Deforestasi dapat mempengaruhi perubahan iklim, sehingga meningkatkan intensitas dan frekuensi bencana.

Di Sumatera, deforestasi telah menyebabkan peningkatan risiko bencana, seperti banjir dan longsor. Beberapa contoh bencana yang terkait dengan deforestasi di Sumatera adalah:

– Banjir di Sumatera Barat pada tahun 2013, yang menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp 1,2 triliun.
– Longsor di Sumatera Utara pada tahun 2018, yang menyebabkan 31 orang meninggal.
– Banjir di Jambi pada tahun 2019, yang menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp 500 miliar.

Pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi deforestasi dan mengurangi risiko bencana, seperti:

Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan: Pemerintah telah melaksanakan program pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Rehabilitasi Hutan dan Lahan: Pemerintah telah melaksanakan program rehabilitasi hutan dan lahan.
Pengelolaan Hutan Lestari: Pemerintah telah melaksanakan program pengelolaan hutan lestari untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.

Namun, masih ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam mengatasi deforestasi dan mengurangi risiko bencana, seperti:

Alih Fungsi Lahan: Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan pertambangan masih menjadi masalah besar.
Kebakaran Hutan: Kebakaran hutan masih menjadi ancaman besar bagi hutan Indonesia.
Penegakan Hukum: Penegakan hukum masih lemah, sehingga pelaku kejahatan kehutanan masih dapat melakukan aktivitas ilegal.

Selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo, terdapat beberapa data yang menunjukkan alih fungsi hutan untuk industri pertambangan dan sawit. Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), selama 1984-2020, terdapat pelepasan kawasan hutan seluas 7,3 juta hektar, dengan perincian:
– 1985-1989: 849.678 hektar
– 1990-1994: 1.542.219 hektar
– 1995-1997: 1.086.156 hektar
– 1998-1999: 678.373 hektar
– 2000-2001: 163.566 hektar
– 2002-2004: 0 hektar
– 2005-2009: 589.273 hektar
– 2010-2014: 1.623.062 hektar

Pada tahun 2020, terdapat 113 unit izin dengan luas lebih dari 600.000 hektar, di mana 22 lokasi tersebut dengan luas lebih dari 218.000 hektar telah memperoleh persetujuan prinsip pelepasan di antara tahun 2012-2014.

Dalam beberapa tahun terakhir, deforestasi di Indonesia juga meningkat, dengan angka deforestasi pada 2024 mencapai 261.575 hektar, meningkat 4.191 hektar dari tahun sebelumnya. Deforestasi oleh pembangunan kebun sawit pada 2024 teridentifikasi seluas 37.483 hektar, atau mencakup 14% dari keseluruhan deforestasi.

Alih fungsi hutan di Indonesia dari tahun 2014 hingga 2025 cukup signifikan. Berdasarkan data yang tersedia, berikut beberapa informasi terkait:

– Deforestasi di Indonesia pada 2024 mencapai 261.575 hektar, meningkat 4.191 hektar dari tahun sebelumnya.
– Pada tahun 2023, deforestasi di Indonesia mencapai 257.384 hektar.
– Deforestasi bruto pada 2024 mencapai 216,2 ribu hektar, dengan lebih dari 90% terjadi pada hutan sekunder.
– Alih fungsi hutan untuk perkebunan sawit pada 2024 mencapai 37.483 hektar, atau sekitar 14% dari total deforestasi.
– Deforestasi di Kalimantan pada 2024 mencapai 44.483 hektar, meningkat dari tahun sebelumnya.
– Deforestasi di Sumatera pada 2024 mencapai 20.812 hektar, dengan Riau menjadi provinsi dengan deforestasi tertinggi.

Namun, perlu diingat bahwa data alih fungsi hutan dapat bervariasi tergantung pada sumber dan metodologi yang digunakan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa luas hutan Indonesia pada 2024 mencapai 95,5 juta hektar, atau sekitar 51,1% dari total daratan.

Data terbaru Bencana Sumatera
Data korban bencana di Sumatera terbaru menunjukkan angka yang cukup tinggi. Berikut adalah rincian korban bencana di Sumatera:

Sumatera Utara: 217 orang meninggal dunia, 209 orang hilang
Sumatera Barat: 129 orang meninggal dunia, 118 orang hilang
Aceh: 96 orang meninggal dunia, 75 orang hilang

Total korban bencana di Sumatera mencapai 442 orang meninggal dunia dan 402 orang hilang. Bencana yang terjadi meliputi banjir bandang, tanah longsor, dan angin puting beliung.

Pemulihan deforestasi hutan memerlukan waktu yang lama dan bergantung pada beberapa faktor, seperti jenis hutan, kondisi tanah, dan upaya rehabilitasi. Berikut beberapa informasi terkait:

– Hutan primer dapat memakan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk pulih. Contohnya, hutan hujan tropis di Amazon dapat memakan waktu 200-500 tahun untuk pulih.
– Hutan sekunder dapat memakan waktu beberapa dekade untuk pulih, sekitar 20-50 tahun.
– Rehabilitasi hutan dapat memakan waktu beberapa tahun hingga beberapa dekade, tergantung pada jenis tanaman dan kondisi tanah.
– Program rehabilitasi hutan di Indonesia, seperti Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), dapat memakan waktu 5-10 tahun untuk menunjukkan hasil yang signifikan.

Namun, perlu diingat bahwa pemulihan deforestasi hutan tidak hanya tentang menanam pohon, tetapi juga tentang memulihkan ekosistem dan fungsi hutan. Oleh karena itu, upaya rehabilitasi harus dilakukan dengan hati-hati dan berkelanjutan untuk memastikan keberhasilan jangka panjang.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *