Metronusa News, Lebak, Banten | Kisruh yang terjadi di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, kian menyita perhatian publik. Aksi mogok sekolah yang dilakukan para siswa sebagai bentuk protes atas dugaan kekerasan oleh oknum kepala sekolah dinilai mencoreng wajah dunia pendidikan.
Tokoh muda Lebak sekaligus pemerhati sosial, King Cobra, turut angkat bicara dan menyampaikan keprihatinannya atas peristiwa yang dianggap tidak semestinya terjadi di lingkungan pendidikan. Menurutnya, sekolah adalah lembaga terhormat yang seharusnya menjadi tempat mencetak generasi bangsa yang cerdas, berakhlak, dan berintegritas — bukan arena konflik dan adu opini di ruang publik.
> “Sekolah merupakan lembaga terhormat. Di sekolahlah kita menitipkan anak-anak untuk dididik menjadi generasi yang berakhlak, berintegritas, dan berwawasan. Maka sangat disayangkan bila urusan internal justru dibawa ke ruang publik hingga menimbulkan kegaduhan,” ujar King Cobra kepada wartawan, Senin (14/10/2025).
King Cobra menegaskan bahwa setiap persoalan dalam dunia pendidikan semestinya dapat diselesaikan secara musyawarah dan kekeluargaan, bukan dengan pelaporan ke aparat penegak hukum (APH). Ia mengingatkan agar semua pihak, baik sekolah maupun orang tua siswa, menahan diri dan tidak memperuncing situasi yang justru dapat merusak citra pendidikan itu sendiri.
Berdasarkan klarifikasi pihak kepala sekolah kepada media, tindakan terhadap siswa berinisial ILP (17) dilakukan sebagai bentuk pendisiplinan setelah kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Namun, kejadian tersebut kemudian berkembang menjadi isu yang melebar dan memicu aksi mogok, yang diduga kuat dipengaruhi oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan di baliknya.
> “Kita harus hati-hati membaca situasi. Jangan sampai ada upaya politisasi atau kriminalisasi terhadap guru yang sebenarnya hanya menjalankan fungsi pendisiplinan. Selama tindakan guru masih dalam batas wajar, tidak menyebabkan luka, dan bertujuan mendidik, seharusnya itu didukung, bukan dilaporkan,” tegas King Cobra.
Lebih lanjut, ia juga meminta agar APH bersikap bijak dan tidak terburu-buru memproses kasus ini secara hukum. Ia menilai pendekatan restoratif justice merupakan langkah paling tepat untuk menyelesaikan persoalan semacam ini, dengan menghadirkan dialog dan mediasi antara siswa, orang tua, dan pihak sekolah.
> “Kita harus sadar bahwa ranah pendidikan berbeda dengan ranah pidana. Jika setiap persoalan di sekolah dibawa ke jalur hukum, maka ke depan guru bisa kehilangan wibawa dan rasa aman dalam mendidik,” imbuhnya.
Selain itu, King Cobra mendesak Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) agar segera bersikap dan mengambil peran aktif dalam menyelesaikan permasalahan ini. Ia menilai PGRI memiliki kewajiban moral untuk melindungi marwah guru serta memastikan hak-hak tenaga pendidik tidak dilemahkan oleh tekanan publik maupun opini sesat di media sosial.
> “PGRI tidak boleh diam apalagi cari aman. Wajib membela hak-hak para guru, karena sampai hari ini belum ada pernyataan resmi dari PGRI. Jangan biarkan marwah pendidikan terinjak hanya karena opini liar,” tutup King Cobra dengan nada tegas.
King Cobra menambahkan, kasus di SMAN 1 Cimarga harus menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, terutama bagi para siswa agar lebih menghormati guru dan memahami bahwa proses pendidikan tidak selalu berjalan lembut, tetapi terkadang memerlukan ketegasan demi kebaikan bersama. Ia juga mengajak masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi dan tetap menaruh kepercayaan kepada lembaga pendidikan sebagai tempat mencetak masa depan bangsa.